Widget by ReviewOfWeb

Kamis, 12 November 2009

cin[T]a the movie

Keunggulan film ini dibandingkan film Indonesia lainnya adalah pada promosi dan pemilihan tema. Untuk sebuah film independen, promosi yang sangat dilakukan cukup efektif di internet sehingga sebelum film diputar pun, sudah dapat menarik banyak penggemar yang penasaran dan menanti-nanti. Namun promosi itu juga tak lepas dari faktor pemlihan tema yang cukup kontroversial di tengah masyarakat kita.

Tema hubungan lelaki-perempuan berbeda agama dan ras [tertentu] yang mungkin belum digali lebih dalam pada film lain dihadirkan dengan gamblang di sini dan tentunya memikat karena kontroversinya–terlebih lagi bagi para anak muda yang [mengaku] film ini merefleksikan kehidupan cinta mereka.

Hampir semua isi film ini terfokus pada dua orang tokoh utama. Cina (Sunny Soon), pemuda keturunan Tionghoa. mahasiswa baru arsitektur ITB yang brilian dari Tapanuli. Seorang Kristen yang taat. Dan Annisa (Saira Jihan), aktris, juga senior Cina di kampus. Berasal dari keluarga Jawa yang kental dengan unsur Islam. Pada pertemuan pertama Cina langsung meremehkan bahwa kecantikan berbanding terbalik dengan kepandaian, juga menyebutkan bahwa IPK Annisa paling-paling hanya 2,1. Walau ternyata memang benar tebakan IPK tersebut.

Bisa ditebak. Keduanya seringkali bertemu hingga akhirnya Cina membantu penyelesaian Tugas Akhir Annisa. Klise memang, keduanya akhirnya saling jatuh cinta.

Hampir sebagian besar adegan di film ini–yang memang terfokus pada tokoh Cina dan Annisa saja–disorot secara close-up dan fokus pada objek-objek seperti jari, semut, apel, dan lain sebagainya. Pengambilan adegan seperti ini diperkuat dengan adanya musik latar yang sesuai dan dialog-dialog yang keren. Memang, salah satu kekuatan utama dari film ini adalah dialog antar tokoh-tokohnya. Di awal hingga pertengahan film kita akan disuguhi dengan dialog yang mengalir, cerdas, lucu, dan membuat terpukau. Tak jarang bisa membuat tersenyum simpul hingga tertawa ngakak. Menjelang klimaks dan akhir, dialog-dialog yang lebih suram dan melankolis, namun tetap mengena akan lebih banyak kita saksikan.

Walaupun hampir semua dialog di film ini memukau, kedua tokoh utama nampaknya harus bekerja keras agar akting mereka tidak terlihat kaku dan datar. Hal ini karena dipengaruhi oleh pengambilan adegan secara close-up, sehingga fokus penonton akan lebih ke ekspresi dan emosi. Beberapa kali kedua tokoh nampak datar dan masih agak canggung. Ya tentu ini dikarenakan filmografi pertama bagi mereka.

Selain itu adegan-adegan di film ini kadang kurang mengalir. Seperti terputus-putus, ada sesuatu yang hilang atau terlewatkan. Atau bahkan tidak jelas. Misalnya Annisa yang berasal dari keluarga Jawa namun memiliki banyak koleksi wayang golek di tempat tinggalnya, alih-alih wayang kulit purwa. Konflik yang terjadi juga saya rasa kurang terlalu jelas namun dapat membuat keretakan di antara keduanya–paling tidak begitu yang saya lihat terhadap konflik yang menimpa pasangan berbeda agama ini.

Saya rasa pasti ada mereka yang menjalani hubungan berbeda agama yang mengharapkan sebuah konflik dan solusi dan film ini misalnya masalah klasik seperti adanya pertendangan antar keluarga, orang tua yang tidak merestui, pandangan masyarakat, dan lain sebagainya. Namun sayang sekali bagi mereka, kasus klasik seperti itu tidak terdapat dalam film ini, karena hampir tidak adanya tokoh lain selain kedua tokoh utama.

Namun film ini–sebagai debut sutradaranya, Sammaria Simanjuntak–mampu menghadirkan tema yang selama ini cukup dianggap tabu sehingga dapat dihadirkan ke ranah publik dengan segala pro dan kontranya. Serta juga membuat masing-masing penonton mempunyai persepsi dan pandangan yang berbeda-beda dalam melihatnya tanpa harus digiring ke dalam satu opini tunggal.